Thursday, January 24, 2008

Bacalah al Qur’an dan Shalawat

Hari ke-5 bulan Muharram setahun yang lalu tepatnya tanggal 24 Januari 2007. Pagi itu pukul 06.30 Wib di ruang ICU Abi tercinta telah dipanggil Sang Mahapencipta. Setelah 5 hari di rawat di RSI Sultan Agung Semarang. Sungguh peristiwa itu membuat keluarga kami sangat kehilangan sosok orang tua yang senantiasa membimbing, mendidik anak-anaknya dengan harapan kelak putra putrinya bisa menjadi anak-anak yang soleh dan solehah berbakti kepada kedua orang tua, taat beragama, bermanfaat bagi sesama dan berguna bagi masyarakat, bangsa dan Negara. Di usianya yang ke-63 beliau meninggalkan 5 orang anak (4 putra dan 1 putri) saya adalah putra bungsu dari 5 bersaudara tersebut.

Kini setahun sudah Abi hijrah ke alam barzah. Kami putra-putrimu disini hanya bisa menengadahkan kedua tangan memohonkan ampunan dan rahmat kepada Allah, Swt. Teriring doa :
“ Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu, Allahumma latahrimna ajrahu walataftinna ba’dahu waghfirlana walahu”.

Abi, belum sempat ananda ini membalas semua kebaikan yang Abi berikan selama ini. Begitu banyak ilmu yang Abi berikan kepada anak2mu sehingga kami bisa tumbuh dewasa. Do’aku semoga abi bahagia disurga-Nya. Kami putra-putrimu disini akan terus berjuang meneruskan cita-citamu dengan bekal ilmu yang telah Abi tularkan.

Satu pesan Abi yang selalu kuingat adalah
“Bacalah selalu al Quran dan Shalawat karena kelak keduanyalah yang bisa memberikan syafaat (pertolongan) di hari akhir”.

Al Quran diturunkan bukan untuk hiasan tapi sebagai pedoman hidup. Ibarat sebuah perusahaan jika mereka mengeluarkan sebuah produk, misalnya televisi, computer, dan yang lainnya pasti disertai dengan manual book (buku petunjuk) pemakaian/penggunaan produk tersebut sehingga produk tersebut bisa dipakai dengan baik dan tidak gampang rusak. Begitu juga Allah, Swt menciptakan manusia disertai pula dengan buku petunjuk hidup yaitu berupa al Quran agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik. Buku panduan, tak ada artinya kalau tidak dibaca, dipahami dan diikuti. Sama halnya dengan al Quran tak akan memberi manfaat apa pun, jika hanya disimpan di almari atau dipajang di rak buku. Dan tidak hanya dibaca saja tapi harus juga dipahami dan diamalkan serta diajarkan. Rasulullah suatu ketika pernah berkata : “Sebaik-baik kamu adalah yang mau belajar al Quran dan mengajarkannya”. Ketika kita sudah bisa membaca al Quran selanjutnya harus memahaminya dengan cara belajar selanjutnya mengamalkannya dan mengajarkannya. Ingat redaksi hadits Nabi diatas menggunakan kata ‘dan” bukan “atau”. Jadi ketika kita sudah belajar al Quran dan sudah bisa, langkah selanjutnya adalah mengajarkannya.

Membaca shalawat adalah bukti cinta kita kepada Rasulullah Muhammad, Saw. Kita sebagai ummat beliau sudah seharusnya berkwajiban membaca shalawat kepadanya. Allah, Swt dan malaikat-Nya pun membaca shalawat kepada Nabi mengapa kita tidak..? bahkan di dalam al Quran Allah memerintahkan kita untuk bershalawat. Begitu besar cinta Rasulullah kepada ummatnya sehingga beliau menganggap kita bukan sekedar sebagai ummat tapi lebih dari itu kita dianggap sebagai saudara Beliau. Saya jadi ingat suatu kisah, suatu ketika di sebuah majelis Rasululah pernah berkata : ”Andaikan aku bisa berjumpa dengan saudaraku...” belum selesai ucapan Nabi, seorang sahabat beliau memotong pembicaraan beliau, ”Ya Rasul.. bukankah kami ini adalah saudara-saudaramu?”. ”Bukan, kalian adalah sahabatku, yang kumaksud dengan saudaraku adalah mereka yang tidak pernah melihatku, tidak pernah bertemu denganku namun mereka mau beriman kepadaku”. Sungguh terkejut para sahabat-sahabat beliau. Kemudian Rasulullah melanjutkan pembicaraannya,”Kalian adalah sahabatku, kalian sudah melihatku, bertemu dengan ku dan beriman kepadaku sedangkan saudaraku belum pernah melihatku apalagi berjumpa denganku namun mereka mau beriman kepadaku.”
Begitulah anggapan dan cintanya Rasulullah terhadap kita sebagai umat sepeninggal Beliau. Kita dianggap sebagai saudara lebih dari sahabat. Jadi sudah pantas dan menjadi kwajiban kita untuk membalas cinta Beliau salah satunya adalah dengan bershalawat. Karena dengan bershalawat kepadanya Insya Allah kita akan mendapatkan syafa’at (pertolongan) dari Rasulullah Muhammad, Saw kelak di hari kiamat. Semoga.....
Allahummashalli ’ala sayyidina Muhammad wa ’ala ali sayyidina Muhammad.....

Wednesday, January 09, 2008

Tahun Baru Semangat Baru

Satu hari lagi kita akan memasuki bulan Muharram, bulan yang menandai datangnya kembali tahun baru hijriyah. Kali ini kita akan memasuki tahun 1429 Hijriyah. Tentunya ada sejuta harapan dan impian yang memenuhi dada kita dalam menyambut datangnya tahun baru hijriyah.
Dengan pergantian waktu setahun, menunjukkan bahwa umur kita bertambah satu tahun, tetapi kesempatan hidup kita di dunia telah berkurang pula satu tahun, yang berarti semakin jauh kita dari kelahiran dan semakin dekat kita kepada kematian.
Hasan al-Basri mengumpamakan manusia bagaikan kumpulan hari-hari, setiap hari yang pergi, kita seperti kehilangan bagian dari diri kita. Apa yang telah pergi tidak akan pernah kembali.
Seperti yang dikatakan Imam Ghazali bahwa yang paling jauh di dunia ini dari kita adalah masa lalu karena apapun kendaraannya kita tidak akan bisa kembali ke masa lalu. Makanya kita harus menjaga hari-hari kita, baik hari ini maupun yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama.
Tahun baru hijriyah mengingatkan kita kepada kejadian spektakuler yang pernah terjadi dalam sejarah Islam, yaitu peristiwa "hijrah". Hijrah secara harfiah artinya perpindahan dari satu negeri ke negeri lain, dari satu kawasan ke kawasan lain, atau perubahan lokasi dari titik tertentu ke titik yang lain.
Secara historis, hijrah adalah peristiwa keberangkatan nabi besar Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju kota Yatsrib, yang kemudian disebut al-Madinah al-Munawwarah.
Ditetapkannya peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah sebagai awal tahun dari penanggalan atau kalender Islam, mengandung beberapa hikmah yang sangat berharga bagi kaum muslimin, diantaranya:
Pertama: perisitwa hijrah Rasululah dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan tonggak sejarah yang monumental dan memiliki makna yang sangat berarti bagi setiap muslim, karena hijrah merupakan tonggak kebangkitan Islam yang semula diliputi suasana dan situasi yang tidak kondusif di Makkah menuju suasana yang prospektif di Madinah.
Kedua: Hijrah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa opimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk kepada yang baik, dan hijrah dari hal-hal yang baik ke yang lebih baik.
Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah, meski harus meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara dan harta benda.
Ketiga: Hijrah mengandung semangat persaudaraan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. pada saat beliau mempersaudarakan antara kaum muhajirin dengan kaum anshar, bahkan beliau telah membina hubungan baik dengan beberapa kelompok yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya.
Dalam konteks sekarang ini, pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus identik dengan meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan kaum muhajirin, tetapi pemaknaan hijrah lebih kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti seperti ini tidak akan pernah berhenti.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ada seorang yang mendatangi Rasulullah dan berkata: wahai Rasulullah, saya baru saja mengunjungi kaum yang berpendapat bahwa hijrah telah berakhir, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya hijrah itu tidak ada hentinya, sehingga terhentinya taubat, dan taubat itu tidak ada hentinya sehingga matahari terbit dari sebelah barat”.
Untuk itu, mari kita jadikan makna hijrah dengan semangat menyambut masa yang akan datang dengan penuh harapan, kita yakin bahwa sehabis gelap akan terbit terang, setelah kesusahan akan datang kemudahan dan kita yakin bahwa pagi pasti akan datang walaupun malam terasa begitu lama dan panjang. Karena roda kehidupan selalu berputar dan tidak mungkin berhenti.Imam Syafi’i pernah berkata:”Memang sebenarnya zaman itu sungguh menakjubkan, sekali waktu engkau akan mengalami keterpurukan, tetapi pada saat yang lain engkau memperoleh kejayaan”.
Mari kita jadikan peralihan tahun sebagai momen untuk melihat kembali catatan yang mewarnai perjalanan hidup masa lalu, dengan melakukan renungan atas apa yang telah kita perbuat. Kita gunakan kesempatan ini untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup di dunia dan akhirat kelak, dengan bercermin kepada nilai-nilai dan semangat hijrah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, karena sesungguhnya Allah menjadikan pergantian siang dan malam untuk dijadikan pelajaran dan mengungkapkan rasa syukur, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Furqan:62:
Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur. "

Monday, January 07, 2008

Banjir dan Batu Kecil

Seorang pekerja pada proyek bangunan memanjat ke atas tembok yang sangat tinggi. Pada suatu saat ia harus menyampaikan pesan penting kepada teman kerjanya yang ada di bawahnya. Pekerja itu berteriak-teriak, tetapi temannya tidak bisa mendengarnya karena suara bising dari mesin-mesin dan orang-orang yang bekerja, sehingga usahanya sia-sia saja.
Oleh karena itu uuntuk menarik perhatian orang yang ada di bawahnya, ia coba melemparkan uang logam di depan temannya. Temannya berhenti bekerja, mengambil uang itu lalu bekerja kembali. Pekerja itu mencoba lagi, tetapi usahanya yang kedua pun memperoleh hasil yang sama.
Tiba-tiba ia mendapat ide. Ia mengambil batu kecil lalu melemparkannya ke arah orang itu. Batu itu tepat mengenai kepala temannya, dan karena merasa sakit, temannya menengadah ke atas. Dan sekarang pekerja itu dapat menjatuhkan catatan yang berisi pesannya.
-----

Allah Swt kadang-kadang menggunakan cobaan-cobaan untuk membuat kita menengadah, ingat dan bersyukur kepada-Nya. Seringkali Allah Swt melimpahi kita dengan rahmat, tetapi itu tidak cukup untuk membuat kita menengadah kepada-Nya. Karena itu, agar kita selalu mengingat kepada-Nya, Allah Swt sering menjatuhkan ”batu kecil” kepada kita.

Banjir, tanah longsor dan sederet musibah lainnya yang menimpa negeri ini bisa diibaratkan sebagai batu kecil seperti yang tertulis dalam cerita di atas. Mungkin selama ini kita lalai dan lupa kepada Rabb yang telah menciptakan alam ini. Telah banyak nikmat dan karunia –Nya yang diberikan kepada bangsa Indonesia ini. Indonesia yang kaya akan SDA (Sumber Daya Alam) yang tersebar di seluruh pulau di Indonesia ini tak lain dan tak bukan adalah karunia & anugerah dari Allah, Swt. Namun bangsa ini seakan lupa dan tiada pernah bersyukur dengan semua itu. Bahkan dengan seenaknya ada yang menebang pohon tanpa memikirkan akibatnya. Penggundulan hutan ada dimana-mana. Perbuatan dosa ada dimana-mana. Coba kalau kita lihat berita di televisi sebagian besar dihiasi dengan berbagai berita kriminal. Mulai dari mencuri (termasuk korupsi), merampok, pembunuhan, aborsi, bahkan sampai dengan pemerkosaan. Sudah banyak manusia yang tanpa malu melakukan dosa. Bahkan ada yang bangga dengan pakaian mereka yang membuka aurat. Sungguh bangsa ini sudah lupa akan Tuhannya. Benarkah musibah yang menimpa di akhir 2007 dan masih terjadi di awal 2008 ini merupakan teguran, ujian atau bahkan azab dari Allah, Swt. Mari bersama-sama kita menengadah kepada-Nya memohon ampunan kepada-Nya atas dosa-dosa yang selama ini kita berbuat sehingga membuat Allah murka kepada bangsa ini. Meminta rahmat dan kasih sayang-Nya. Semoga Allah Azza wa Jalla berkenan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada bangsa Indonesia dan mudah-mudahan kita bisa menjadi bangsa yang senantiasa bersyukur kepada Tuhannya dan bisa mencintai dan peduli kepada sesamanya. Semoga...

Wednesday, January 02, 2008

Hidup adalah Rangkaian Syukur dan Sabar

Musibah itu datang lagi...
Di penghujung tahun 2007 ini bangsa Indonesia kembali berduka. Sederet bencana melanda negeri ini. Hampir di kota-kota di pulau jawa bahkan di luar pulau jawa pun merasakan bencana itu. Mulai dari banjir, tanah longsor, luapan pasang air laut, angin putting beliung, hingga kecelakaan transportasi.

Malam itu hari Rabu 26 Desember 2007 pukul 21.00 telpon rumah berdering. Kring…kring…Kebetulan yang mengangkat telpon waktu itu kakak ipar saya. Ternyata telpon itu dari Solo dimana ada keluarga kami (Paman) yang tinggal disana. Dari ujung gagang telpon itu ada kabar bahwa rumah mereka sudah tergenang air akibat luapan kali bengawan solo. Tinggi air saat itu katanya sudah mencapai leher orang dewasa, kira-kira hampir 2 meter. Saat itu mereka sekeluarga mengungsi di rumah nenek yang masih di daerah Solo juga. Alhamdulillah semua keluarga selamat. Mereka semua ber-enam (Paman, istrinya dan 4 anaknya).

Kami keluarga yang ada di Demak pun ikut berduka merasakan musibah yang menimpa keluarga kami di Solo. Ingin sekali kami mengunjungi mereka namun keadaan belum memungkinkan karena kondisi air yang masih mengepung daerah dimana mereka tinggal. Rencana itu pun kami tunda. Hari minggu 30 Desember 2007 terkirim kabar bahwa air sudah surut. Mereka sudah kembali ke rumahnya untuk membersihkan rumah dari lumpur akibar banjir itu.

Selasa, 1 Januari 2008. Hujan masih menghiasi pagi kala itu. Sejak semalam hujan belum reda juga. Pagi itu kami keluarga besar di Sayung dengan sebuah Bus dengan kapasitas 30 orang berangkat menuju ke Solo untuk menengok keluarga Paman yang baru saja terkena musibah banjir. Alhamdulillah di sepanjang perjalanan kami, hujan tidak lagi turun walaupun ada sejumlah daerah yang kami lewati masih saja diguyur air yang turun dari langit itu. Akhirnya kami pun sampai di rumah Paman setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama 3 jam.

Setibanya disana suasana haru menyelimuti pertemuan kami. Ada tangis haru dan tetes air mata yang tak terbendung. Dinding yang basah setinggi hampir 2 meter masih membekas dan terlihat jelas akibat banjir. Bahkan ada rumah yang ketika banjir hanya terlihat atap gentengnya saja. Suasana kampung masih terlihat kegiatan warga yang membersihkan rumah-rumah mereka setelah 3 hari ditinggal ke pengungsian untuk mengamankan keluarga mereka dari banjir.

Walaupun musibah banjir itu datang masih ada rasa sabar dan syukur dihati keluarga Paman. “Alhamdulillah kami sekeluarga masih selamat dan rumah hanya terendam setinggi leher orang dewasa karena masih ada yang lebih parah lagi hingga rumahnya ada yang terendam seluruhnya”, ujar Paman. Mereka yang rumahnya terendam kebanyakan yang ada di bantaran tanggul. Memang rasa syukur sudah seharusnya kita miliki di setiap suasana selain rasa sabar juga. Karena kata orang bijak “Hidup itu adalah rangkaian Syukur dan Sabar”. Bersyukur disaat mendapat nikmat dan bersabar dikala mendapat musibah.

Hanya sedikit bantuan berupa sembako dan sejumlah uang yang bisa kami berikan kepada keluarga Paman. Mudah-mudahan bisa meringankan duka musibah yang menimpa. Doa kami semoga Paman sekeluarga diberi ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan hidup ini. Bertambah rasa cintanya kepada Allah dan kepada sesama. Semakin dekat dengan-Nya. Dibukakan pintu rizki yang luas dan barokah. Amien…